Membaca tulisan dr. Ani Hasibuan, ahli syaraf di RSCM Jakarta tentang kisah pengabdiannya sebagai seorang dokter yang sangat menjunjung tinggi sumpah hipocrates ini membuat jiwa kita berontak melihat kenyataan yang dipaparkan oleh dr. Ani Hasibuan.

IMG 20221218 WA0191

Mencoba mengambil hikmah dari sepenggal kutipan kisahnya tentang pengalamannya menangani pasien HIV yang notabene bermula dari kebiadaban LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender).

“Waktu saya kerja di klinik HIV RSCM, pernah dapat mahasiswa salah satu universitas swasta terkenal di Jakarta yang kena meningitis kriptokokus (jamur otak). Orang tuanya pekerja petrol tinggal di Dallas, Amerika Serikat. Mahasiswa ini tinggal sendiri, anaknya tampan, klimis dan kelihatan anak baik. Sang dominan sering ikut mengantar kalau mau kontrol. Jangan kaget, dominannya ini seorang aktivis LSM Anti-HIV. Itu kalo si pasien saya ini mengeluh sakit kepala, si dominan ini dengan senang mengelus-elus punggungnya si submissif sambil bilang ‘sakit ya, sayang?’ ‘yang mana sakitnya?’ ‘sabar ya, sayang..?’. Tapi saya juga pernah dapat seorang dominan yang kena infeksi di medulla spinalis, spondilitis TB, jadi lumpuh kedua kakinya. Ada juga gay kakak beradik, semasa kecil dikasih satu kamar satu ranjang oleh orang tuanya. Pas gede, tau-tau sang kakak kena kripto. Ketika dicek kena HIV positif, ditanya pasangannya siapa? ternyata adiknya. Saat dicek menunjukan adiknya juga kena HIV positif. Kedua-dunya sudah meninggal dalam satu ruangan rawat yang sama. Ayahnya sampai anak tersebut dikubur pun tidak pernah datang jenguk”.

IMG 20221220 WA0019

“Dikisahkan juga seorang piaraan bayaran (gigolo) sekarang sudah meninggal dunia. Dipiara seorang lelaki China untuk bayaran USD 1000-2000 perbulan, uangnya dikirim untuk menafkahi anak istrinya di Yogya. Dia ini sejatinya bukan gay tapi semacam pelacur lelaki. Waktu ketahuan bahwa yang bersangkutan HIV positif dan tokso menangis meraung-raung. Kalo sedang diperiksa selalu terisak-isak dan bilang menyesal. Saat saya ketemu istrinya, justru saya yang berkaca-kaca (menangis), sebab istrinya perempuan berhijab rapi dengan dua balita yang juga berhijab”. Baca juga: Pesta Kemerdekaan Melatih Rasa Cinta Tanah Air

Tentunya kisah dr. Ani Hasibuan ini dalam menghadapi lika liku laki-laki seperti ini hendaknya menjadi peringatan keras bagi semua orang tua sekaligus sebuah gambaran nyata dalam keterselubungan masalah sosial yang mengerikan dibalik kelamnya kehidupan mereka. Munginkah kisah menyedihkan seperti ini akan terjadi pada orang-orang terdekat kita, tentunya tidak satu pun dari kita menginginkan hal itu terjadi. Baca juga: Spirit Baru Dibalik Penerima Manfaat Bansos

Sayangnya, sebagian dari kita justru berada dalam skenario jebakan yang secara berulang-ulang kita lakukan, anehnya kita anggap biasa saja. Kebiasaan-kebiasaan tanpa pengetahuan yang kuat diperagakan lewat seremonial, teater, panggung, karnaval, acara-acara pesta demokrasi, hari kemerdekaan serta termasuk tayangan-tayangan di media mainstream (medsos) dan sebagainya bahkan itu dihidupkan dalam skala masiv dipertontonkan perilaku, gaya dan cara bicara, gestur, konsep feminisme kepada masyarakat. Kita ambil contoh bagaimana bernafsunya anak remaja dan tak terkecuali orang tua juga ambil bagian dalam mengusung tema-tema feminin padahal tak sewajarnya itu dilakukan oleh seorang laki-laki sehat akal sehat fisik, tuntutan skenario cerita atau syarat tertentu (kontradiktif) sering mengajak kita berkompromi dengan perilaku yang menyimpang dan berpotensi menghidupkan agenda besar LGBT. Baca juga: Dilema Bansos Dalam Pelayanan Sosial

Ironisnya, baik yang memperagakan maupun yang menonton justru mereka seringkali merasa bangga dan menyukai dengan tampilan figur-figur kontradiktif dengan kenyataan hidupnya, mereka disuguhkan lewat simbol-simbol konyol dengan kepalsuan identitas yang tak bermoral tersebut. Adakalanya laki-laki berpenampilan wanita begitu juga sebaliknya, dengan tegas dan jelas kita saksikan manakala memperingati hari-hari besar nasional (kemerdekaan) berbagai pesta rakyat dalam suasana kebebasan berekspresi namun minim etika moral (baca;agama), bahkan sekolah-sekolah pun menyambut dengan gegap gempita. Terkesan asyik padahal ini sebuah skenario besar menuju kehancuran moral anak bangsa. Baca juga: Spirit Dari Seorang Pemulung

Sudah sepatutnya bagi kita orang tua mewaspadai fenomena sosial yang dari hari ke hari semakin menganga ke permukaan, sepertinya aroma tata cara kehidupan LGBT bagi sebagian anak-anak dan remaja kita suatu hal yang lumrah dan tidak dipertentangkan. Kita tidak berharap fenomena ini seperti ‘gunung es’ yang tiba-tiba muncul tanpa terdeteksi, sehingga pada waktunya kita menyesal dan tertunduk malu karena merasa berdosa dan tidak berbuat apa-apa untuk menjaga generasi kita, mari kita saling menguatkan niat dan langkah untuk melawan apapun bentuk penistaan dan penyimpangan baik sikap perilaku dan nilai moral yang bertentangan dengan kaidah agama, adat, susila dan hukum. Baca juga: Tanggal 9 Februari, Tanggal Yang Sangat Istimewa Bagi Insan Pers

Mulailah bergerak dan berbenah, jangan lengah dan segera bangun kekuatan moral dan aksi sosial untuk menghalau bahaya laten yang senantiasa siaga mengintai keteledoran kita. Pergaulan bebas tanpa nilai menjadi pintu masuk tumbuhnya perilaku menyimpang, kewaspadaan harus tetap dijaga oleh semua lapisan masyarakat.

Dipenghujung tulisan ini, izinkan mengutip saran dari dr. Ani Hasibuan bahwa dalam menghadapi kaum LGTB ini ada beberapa yang harus dilakukan, yakni : 1) ajarkan anak-anak kita untuk bertindak agresif kalau ada yang coba-coba mengoda (gay), jangan kasih ampun dan muka; 2) jangan takut main fisik, karena kalau dibiarkan dan didiamkan para gay ini makin semangat dan berani; 3) jangan izinkan anak-anak bepergian sendirian ke tempat yang belum diketahui, jangan sekali-kali mendekati dan memberi sapa kepada mereka; 4) Ingat, cerita tentang LGBT (gay) semua berakhir tragis, kisah para gay berujung dengan tokso, kripto, TB, pnemonia, kandida, dan finalnya mati sendirian tanpa didampingi kaumnya.

Sungguh merana…!!!
Begitu pula nasehat dalam islam yang mengajarkan kita untuk mencegah sedini mungkin penyimpangan seksual. Ajaran Rasulullah mesti menjadi perisai awal agar kita mampu mencegah keluarga dan umatnya dari berperilaku menyimpang. Sabda Nabi Muhammad Sholallahu ‘Alaihi Wassalam, “Suruhlah anak-anak kalian mengerjakan shalat saat mereka berusia tujuh tahun dan pukullah mereka (bila tidak mau mengerjakannya) saat mereka berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” (HR Abu Dawud).

Penyimpangan seksual dalam bentuk homoseksualitas, lesbianisme, ataupun inses hubungan seksual dengan kerabat dekat sangat mungkin terjadi karena faktor kebiasaan dalam lingkungan keluarga. Artinya, seorang anak yang terbiasa tidur satu ranjang dengan saudaranya sesama jenis dapat muncul dalam dirinya kesenangan terhadap sesama jenis (homoseks ataupun lesbian). Kasus yang sama juga bisa terjadi dalam perkawinan inses. Karena itu, Nabi sangat tegas memerintahkan agar tempat tidur anak-anak dipisahkan, baik mereka sesama jenis maupun lain jenis. Para orang tua harus benar-benar memperhatikan masalah yang sangat penting ini. Baca juga: Dua Hari Gelar Pelatihan Jurnalistik, Komunitas Pers Sekolah Terbentuk

Berikutnya, dengan membiasakan anak-anak bermain dengan alat ataupun jenis permainan sesuai dengan jenis kelamin mereka. Rasulullah SAW memerintahkan para orang tua mengajari anak-anak laki-laki berlatih memanah, berkuda, dan bermain pedang. Sedangkan, anak-anak perempuan, sebagaimana dilakukan Aisyah RA saat masih kecil, biasa bermain boneka. Pesan rasulullah ini mengisyaratkan bahwa peran dan tanggung lingkungan keluarga terutama ayah dan ibu adalah faktor determinan dan prinsip dalam membentuk pribadi yang kokoh dan utuh serta membangun kehidupan yang diridhoi yang dikehendaki Allah subhanahu wata’ala. Betapa pentingnya lembaga keluarga dalam mengawal dan membentuk perilaku normal dan berakhlak, semoga kita dihindarkan dari segala fitnah dan kekejian ini. Aamiin

* Nusation Anwar, Penyuluh Sosial Ahli Madya di Dinas Sosial & PMD Provinsi Bangka Belitung