PEMERINTAH Kabupaten Bangka Selatan (Pemkab Basel) dan Balai Wilayah Sungai (BWS) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, rapat bersama menindaklanjuti atas keluhan masyarakat terkait status lahan yang diduga dirampas untuk kepentingan kegiatan proyek pembangunan sarana penyediaan air baku KI Sadai.

Rapat bersama tersebut dilaksanakan secara tertutup di Ruang Kerja Sekretaris Daerah, dipimpin oleh Asisten II Ekonomi dan Pembangunan, Muhson didampingi Kepala Bakuda Agus Pratomo, Kepala Bappeda Herman, perwakilan Dinas PUPR Heri, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Proyek Heru Gunawan, Tim Pengamanan Pembangunan Strategis (PPS) Kejati Babel dan Kasi Intelijen Kejari Basel Michael, serta perwakilan pihak perusahaan atau kontraktor.

Baca Juga : Lahan Kebun Warga Tukak Sadai Dirampas untuk Kepentingan Proyek, Ini Kata PPK Proyek

Anggaran proyek tersebut bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) senilai Rp 75.446.927.000,00, dikerjakan oleh perusahaan asal Surabaya, Jawa Timur.

“Tujuan dari rapat bersama ini untuk memastikan apakah lahan, lokasi proyek pembangunan itu masuk dalam kawasan hutan atau diluar kawasan hutan, dan rapat juga sekaligus menindaklanjuti keluhan masyarakat yang lahan perkebunannya terkena dampak dari pengerjaan proyek tersebut,” kata Asisten II Ekonomi dan Pembangunan Pemkab Basel, Muhson.

Muhson menjelaskan, lahan proyek tersebut diketahui masuk dalam kawasan hutan produksi, begitu juga dengan lahan perkebunan masyarakat yang terkena dampak dari pengerjaan proyek.

“Titik lokasi lahannya itu masuk dalam kawasan hutan produksi bukan APL (Areal Penggunaan Lain). Karena itu, dalam rapat ini kita juga sekaligus mencari solusi untuk menyelesaikan permasalahan secara musyawarah sehingga tidak ada yang dirugikan baik pemerintah, perusahaan, maupun masyarakat,” ujar Muhson.

Menurutnya, dengan status lahan masuk dalam kawasan hutan produksi, sehingga untuk ganti rugi atas lahan perkebunan masyarakat yang terkena dampak dari pengerjaan proyek tersebut tidak dapat direalisasikan.

“Kalau status lahan perkebunan itu APL disertai dengan surat menyuratnya tentu kita harus dan wajib untuk menggantinya apalagi di lahan itu terdapat tanam tumbuh. Tapi ini statusnya hutan produksi, kalau kita lakukan pergantian atau ganti rugi dengan cara dibayar sehingga dikhawatirkan menjadi permasalahan dikemudian hari,” jelas Muhson.