Penulis : Marleny, S. Pd. Sd
Guru SD Negeri 19 Gantung, Belitung Timur
PROSES pembiasaan berawal dari peniruan, selanjutnya dilakukan pembiasaan di bawah bimbingan orang tua dan guru. Peserta didik akan semakin terbiasa, apabila sudah menjadi kebiasaan yang tertanam jauh di dalam hatinya. Peserta didik itu kelak akan sulit untuk berubah dari kebiasaannya itu. Misalnya ia akan melakukan salat berjamaah. Bila waktu salat tiba, tidak akan berpikir panjang apakah salat dulu atau melakukan hal lain, apakah berjamaah atau nanti saja salat sendirian. Hal ini disebabkan karena kebiasaan itu merupakan perilaku yang sifatnya otomatis, tanpa direncanakan terlebih dahulu, berlangsung begitu saja tanpa dipikirkan lagi.
Proses pembiasaan dalam pendidikan merupakan hal yang penting terutama bagi anak-anak usia dini. Anak-anak belum menyadari apa yang disebut baik dan tidak baik dalam arti susila. Ingatan anak-anak belum kuat, perhatian mereka lekas dan mudah beralih kepada hal-hal yang terbaru dan disukainya. Dalam kondisi ini mereka perlu dibiasakan dengan tingkah laku, keterampilan, kecakapan dan pola pikir tertentu.
Menurut Ulwan (1993: 93), pendidikan dengan proses pembiasaan merupakan cara yang sangat efektif dalam membentuk iman, akhlak mulia, keutamaan jiwa dan untuk melakukan syariat yang lurus. Proses pembiasaan sebenarnya berintikan pengulangan. Artinya yang dibiasakan itu adalah sesuatu yang dilakukan berulang-ulang dan akhirnya menjadi kebiasaan. Pembiasaan harus diterapkan dalam kehidupan keseharian anak didik, sehingga apa yang dibiasakan terutama yang berkaitan dengan akhlak baik akan menjadi kepribadian yang sempurna. Misalnya jika guru masuk kelas selalu mengucapkan salam. Bila anak didik masuk kelas tidak mengucapkan salam, maka guru mengingatkan agar bila masuk kelas atau ruangan apapun hendaklah mengucapkan salam.
Kebiasaan terbentuk karena sesuatu yang dibiasakan, sehingga kebiasaan dapat diartikan sebagai perbuatan atau ketrampilan secara terus-menerus, secara konsisten untuk waktu yang lama, sehingga perbuatan dan keterampilan itu benar-benar bisa diketahui dan akhirnya menjadi suatu kebiasaan yang sulit ditinggalkan. Kebiasaan dapat juga diartikan sebagai gerak perbuatan yang berjalan dengan lancar dan seolah-olah berjalan dengan sendirinya. Perbuatan ini awalnya dikarenakan pikiran yang melakukan pertimbangan dan perencanaan, sehingga habituasi nilai disiplin yang berhubungan dengan pendidikan bertujuan membentuk manusia yang berdisiplin, yang dapat menjadi anggota masyarakat yang bahagia, yang bebas merdeka, terlepas dari segala restriksi (ikatan) yang tidak relevan dengan fitrahnya sebagai manusia berpikir, terlepas dari segala ikatan-ikatan yang menghambat terlaksananya masyarakat yang adil dan makmur.
Membiasakan nilai disiplin di sekolah, dapat dilihat dari segi perlakuannya ada tiga macam, yaitu: interaksi antar individu, antara individu dan kelompok, dan antar kelompok; sedangkan dari cara terjadinya, ada interaksi langsung secara fisikal, dan tidak langsung melalui media dan simbol. Proses pembelajaran di sekolah (kelas) secara langsung maupun tidak langsung merupakan kegiatan interaksi antara individu, antara individu, dan antar kelompok. Sehingga melalui proses belajar ini akan diperoleh atau terbentuk pola-pola pikir.
Pelaksanaan habituasi nilai disiplin ini harus dilakukan secara singkat, jelas, rinci dan sederhana, mudah dimengerti oleh anak, tidak boleh bertele-tele, serta menyulitkan dan perlu pemikiran yang rumit, namun harus praktis. Disiplin dapat diwujudkan melalui peraturan yang sedapat mungkin terinci dan terpisah, cukup singkat dan sederhana, sedapat mungkin jelas dalam hal sanksi, dan diketahui secara luas oleh seluruh siswa.
Pembiasaan nilai disiplin pada anak usia dini di Sekolah Dasar (SD) berlangsung bukan hanya melalui kurikulum, tetapi juga melalui interaksi antara siswa dengan staf. Hal ini akan terlihat ketika dalam keadaan bermain, dalam aturan bermain, kegiatan kompetisi, dan ketika anak- anak memikirkan bentuk-bentuk perilaku setiap pemain. Pembiasaan nilai moral disiplin di SD ini terlihat pula dalam kehidupan sosial SD, anak-anak mempertimbangkan perilaku yang diterima dan ditolaknya, mengikuti dan mengkritisi kebiasaan maupun moralitas masyarakatanya. Terjadi pula ketika anak memperhatikan gurunya, baik cara guru berbicara, bersikap, dan berbuat di dalam maupun di luar kelas. Juga, pengembangan nilai moral disiplin dapat muncul dalam perayaan-perayaan hari besar nasional yang bersejarah maupun kontemporer yang dipilih sebagai contoh kualitas warga negara dalam lingkungan yang disiplin. Muncul pula dalam program umum di SD, seperti ikut perlombaan, baik yang diadakan oleh SD yang bersangkutan maupun yang diadakan oleh SD atau lembaga lain. Muncul pula ketika mengorganisir lingkungan SD, yaitu ketika menyediakan tempat bermain, membuat bangunan, dan menyediakan perlengkapan, tempat mainan, sentra-sentra kegiatan anak, ruang perpustakaan memilih papan pengumuman, serta dalam hubungan antara staf administrasi dengan guru.
Oleh karena itu pendidikan nilai merupakan keniscayaan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi dalam sistem pendidikan persekolahan di setiap jalur dan jenjang pendidikan, baik formal, informal, maupun non formal. Agar sasaran tersebut tercapai, perlunya memerankan pendidikan nilai dalam dimensi yaitu membina, menanamkan, serta melestarikan nilai moral luhur pada individu manusia, kelompok, dan kehidupannya. Meningkatkan dan memperluas tatanan nilai dan keyakinan manusia/kelompok masyarakat. Membina dan meingkatkan jati diri manusia/masyarakat/bangsa. Menangkal, memperkecil dan meniadakan hal-hal negatif. Membina dan mengupayakan ketercapaian dunia harapan yang dicita- citakan. Mengklarifikasi dan mengoperasionalkan nilai moral dasar dalam astagrata kehidupan. Mengklarifikasi atau mengkaji keberadaan nilai moral dalam diri manusia dan atau kehidupan.
Sebagai salah satu bentuk sistem sosial, sekolah merupakan tempat peserta didik berinteraksi antara satu dengan yang lainnya (seluruh warga seekolah; Kepala sekolah, guru, orang tua komite, tata usaha, dan antar siswa).
Lingkungan sekolah dapat dipastikan menampilkan beragan nilai kehidupan. Nilai- nilai itu dapat berupa nilai yang dilembagakan dengan sengaja melalui sejumlah ketentuan formal seperti kedisiplinan dan kerapihan yang diatur dalam tata tertib sekolah atau nilai kecerdasan, kejujuran, tanggung jawab, keterampilan dan kesehatan, yang dikembangkan melalui kurikulum tertulis. Selain itu, sekolah adalah tempat bertemunya nilai-nilai kehidupan yang lahir secara pribadi dan ditampilkan dalam bentuk pikiran, ucapan dan tindakan perorangan. Nilai-nilai seperti itu cenderung muncul spontan dalam kekhasan pribadi setiap orang.
Penanaman nilai moral disiplin pada anak usia dini, terutama di SD dilakukan melalui pembiasaan, yakni dilakukan secara spontan sesuai dengan situasi, kondisi dan materi tententu. Semua warga SD (guru, tata usaha, komite sekolah, petugas keamanan, pegawai sekolah) ikut lilibatkan dalam mengimplementasikan pembiasaan nilai disiplin di sekolah dengan kepala sekolah berperan sebagai fasilitator dalam proses perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan evaluasi pembiasaan nilai disiplin.
Dengan terlaksananya pembiasaan nilai-nilai disiplin bagi anak diharapkan akan terjadi sebuah perubahan sikap yang signifikan, yaitu dengan memasukan nilai-nilai disiplin tentang bagaimana anak memiliki kehidupan pribadi yang bertanggung jawab sebagai warga negara yang berperan aktif dalam memecahkan problem pribadi dan masyarakat. Dengan nilai-nilai moral disiplin tersebut dapat mengembangkan perilaku anak untuk memiliki kehidupan pribadi dan warga masyarakat berdasar pada norma, aturan yang baik, memiliki emosi dan penyesuaian norma sosial yang memuaskan, serta menggunakan keterampilan-keterampilan dan kebiasanaan yang melibatkan berpikir kritis dan konstruktif.
Singkatnya, tujuan habituasi nilai disiplin dimaksudkan untuk pembinaan seluruh aspek kehidupan seseorang, baik sebagai pribadi, anggota keluarga, warga negara, dan warga dunia, sehingga dapat mewujudkan sosok manusia ideal, manusia yang utuh, totalitas, menjadi manusia yang mampu “survive” dalam kehidupan masyarakat yang penuh dengan tantangan dan persaingan hidup.
Melalui pembiasaan nilai disiplin dalam proses pembelajaran di SD, diharapkan dalam diri anak tertanam sikap yang baik.
Sikap tersebut harus dimunculkan oleh anak dalam perilakunya di sekolah, keluarga, dan masyarakat. Sebagaimana uraian di atas, nampaknya pembiasaan nilai disiplin ini merupakan salah satu upaya yang ditempuh dalam menanamkan nilai, moral dan norma sehingga seseorang dapat berbuat, bersikap, dan berperilaku disiplin, baik sebagai pribadi maupun sosial. Dalam konteks pembelajaran seperti di atas, pembiasaan nilai disiplin perlu dilandasi akan adanya kesadaran.
Kondisi pembelajaran yang dilandasi kesadaran tersebut harus dibangun oleh lima nilai sadar, yaitu adanya sistem nilai, pentingnya memiliki sistem nilai, keinginan untuk menganut/memilikinya sistem nilai tersebut, keharusan membina dan meningkatkannya, dan sadar untuk mencobakan dan membakukannya dalam amal perbuatan sehari-hari.
Senada dengan itu untuk mencapai kesadaran ini diperlukan tahapan pengkajian yang mendalam dan serius. Tahap mengakomodasi, yaitu anak memiliki kesempatan untuk mempelajari dan menginternalisasikan nilai moral. Tahap asimilasi atau mengintegrasikan nilai tersebut dangan sistem nilai lain yang telah ada dalam dirinya.
Dari pendekatan dan strategi tersebut mengemukakan, untuk sasaran tersebut perlu dilakukan pendekatan yang terbaik dan saling mengaitkannya satu sama lain agar menimbulkan hasil yang optimal. Pendekatan yang dimaksud yaitu pendekatan penanaman nilai, pendekatan ini mengusahakan agar peserta didik mengenal dan menerima nilai sebagai milik mereka dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya melalui tahapan: mengenali pilihan, menilai pilihan, menentukan pilihan, menerapkan nilai sesuai dengan keyakinan diri. Cara yang dapat digunakan pada pendekatan ini antara lain: keteladanan, penguatan positif dan negatif, simulasi dan bermain peran.
Pendekatan perkembangan moral kognitif. Pendekatan ini menekankan pada berbagai tingkatan dari penelitian moral. Guru dapat mengarahkan anak dalam menerapkan proses pemikiran moral melalui diskusi masalah moral, sehingga peserta didik dapat membuat keputusan tentang pendapat moralnya.(**)