Mutiara Tiga Selatan: Menutup Libur Sekolah di Pesisir Tanjung Kerasak Bangka Selatan
Oleh: Tom, Pemilik Babelhebat
“Kami menutup liburan bukan dengan pesta besar, tapi dengan piknik sederhana di pantai, tempat di mana tawa anak-anak jadi doa-doa kecil yang terbang ke langit,” Babelhebat.
Minggu, 13 Juli 2025. Kami menutup masa liburan sekolah dengan perjalanan sederhana namun penuh makna, menyusuri ujung selatan Pulau Bangka, tepatnya di pesisir Pantai Tanjung Kerasak, Desa Pasir Putih, Kecamatan Tukak Sadai, Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Sebab esok hari, Senin 14 Juli, anak-anak sudah mulai kembali masuk sekolah.
Kami berangkat dari rumah di Desa Gadung, Kecamatan Toboali, sekitar pukul 14.30 WIB. Mobil mini hitam kami, saksi bisu banyak petualangan keluarga kecil kami, kembali melaju di jalan berliku, tanjakan turun naik, dan aspal yang bergelombang. Di dalam kabin mobil, kami mengisi waktu dengan bercerita dan tertawa, menyatu dalam irama keluarga.
Di kursi belakang, Syahdu dan Kirana berceloteh penuh semangat. Una si bungsu kami yang kini berusia empat tahun duduk di depan bersama ibunya, Kiki. Di antara senda gurau itu, kami sadar, ini bukan sekadar perjalanan ke pantai. Ini adalah ritual kecil yang menandai berakhirnya masa istirahat dan menyambut kembali rutinitas. Sebuah pengingat akan waktu yang terus berjalan.

Syahdu kini kelas enam, Kirana kelas dua sekolah dasar. Una akan memulai PAUD tahun ini. Anak-anak yang dulu kami gendong satu per satu, kini mulai melangkah, berlari, dan bertumbuh dengan irama mereka sendiri. Di sanalah letak Babelhebat kami, tiga mutiara kecil yang tumbuh di ujung selatan Pulau Bangka.
Tiba di Pantai
Kami memarkir mobil di dekat toilet umum. Lalu menurunkan bekal makanan dan minuman ringan yang kami bawa dari rumah dan sebagian lagi dibeli dari warung kecil di sekitar jalan Parit 9, Toboali.
Begitu tiba, semilir angin laut langsung menyapa. Udara terasa lebih lapang, aroma asin laut membelai, dan suara deburan ombak seolah memanggil kami kembali pada akar.

Anak-anak langsung menyusuri pesisir. Pasir putih yang berkilau tersapu ombak di bawah kaki mereka seolah memang ditakdirkan untuk dikenali sejak dini. Tanpa ragu, tanpa aba-aba, mereka menyatu dengan laut.
Laut tak pernah asing bagi kami, anak-anak dari negeri kepulauan, Bumi Serumpun Sebalai dan Junjung Besaoh. Di tanah yang kaya akan sumber daya alam ini, kami belajar bahwa pantai bukan sekadar tempat wisata, melainkan ruang belajar paling jujur bagi anak-anak yang tumbuh di tengah kebhinekaan dan kesederhanaan.
Saya dan Kiki duduk di bangku sederhana, menikmati bekal sambil memandangi anak-anak yang tertawa dan berkejaran bersama ombak. Ini adalah waktu mereka. Dan waktu, meski tak bisa diputar ulang, bisa dikenang sepanjang hayat.
Kami ingin hari ini menjadi bagian dari kenangan masa kecil mereka di ujung selatan pulau tempat mereka lahir dan tumbuh.
Mutiara Tiga Selatan
Kami menyebut mereka Mutiara Tiga Selatan. Tiga anak yang lahir dari pertemuan dua orang asing yang saling percaya, belajar, dan bertumbuh bersama.



