Oleh : Nusation Anwar (Alumni STKS Bandung)
Penyuluh Sosial Madya Pada Dinas Sosial dan PMD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
Di republik ini dikenal sangat kaya dengan konsep dan program bantuan sosial. Mungkin tidak terhitung lagi jenis dan jumlah program penanganan kemiskinan dalam bentuk bantuan sosial baik tunai, maupun non tunai, bersyarat ataupun tanpa syarat yang telah dan sedang digulirkan. Dari tahun ke tahun mekanisme dan sistimnya pun selalu berkembang, mulai konvensional hingga menggunakan kartu elektrik. Seiring dengan geliat kemajuan informasi dan teknologi ditambah tantangan menghadapi pandemi Covid-19 dua tahun ini. Polarisasi program bantuan sosial mengalami kemajuan pesat sehingga penerima manfaat lebih bervariasi baik kategori maupun substansinya. Database penerima manfaat menjadi komponen pokok dalam menyasar calon penerima manfaat. Terkadang bisa berbalik arah menjadi pemantik terjadinya pergesekan dan perselisihan di akar rumput dan level pemerintahan desa.
Sesuai amanah UUD 1945 berikut peraturan perundang-undangan turunannya memang memberikan ruang dan gerak bagi kementerian/lembaga/pemda untuk meramu berbagai kebijakan dan program penanganan kemiskinan melalui skema program dan kegiatan yang dibiayai oleh Anggaran Pendapan Belanja Negara/Daerah bahkan memberdayakan peran serta dunia usaha. Pemerintah begitu banyak cara untuk mencoba mensejahterakan rakyatnya walau kadangkala tak terhindari konflik interest baik bersifat horizontal maupun vertikal.
Mencoba memahami pernyataan resmi yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) sebagaimana yang disampaikan langsung oleh Kepala BPS Babel Dwi Retno Wilujeng Wahyu Utami di salah satu media massa lokal, tanggal 19 Januari 2022. Bahwa tercatat terjadi penurunan penduduk miskin sebanyak 3.000 orang menjadi 69.700 orang per September 2021 dibandingkan pencatatan pada Maret 2021 sebanyak 72.700. Diantara faktor yang terindikasi sebagai penyebab menurunnya penduduk miskin di Babel, yakni pertumbuhan ekonomi semakin membaik dan tingkat pengangguran yang menurun. Lalu, muncul pertanyaan, apakah capaian tersebut memiliki korelasi dengan program bantuan sosial yang selama ini sangat masiv digelontorkan mulai dari Program Keluarga Harapan, Bantuan Pangan Non Tunai, BLT/BST, Bantuan Sosial Kelompok, Sembako, Bantuan Subsidi Upah, Bantuan Quota Internet, Kartu Pra Kerja, Bantuan Uang Kuliah Tunggal, Diskon Listrik, dan segala jenis subsidi lainnya.
Lebih ke dalam lagi apakah terjadi pergeseran pola pikir dan cara pandang (mindset) penerima manfaat terhadap bantuan sosial yang diberikan itu. Kenapa begitu, karena sifat bantuan sosial pada prinsipnya hanya sebatas stimulan agar terjadinya perubahan perilaku dan nilai hidup penerima manfaat dalam memfungsikan dirinya sekaligus membangkitkan semangat dan potensi diri dengan segala yang dimilikinya. Selain itu, bantuan sosial bukanlah program reguler yang dijadikan instrumen pokok penyelesaian masalah sosial, bantuan sosial lebih bersifat kompensasi atau sementara sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah dalam memberikan perlindungan guna mengurangi kegoncangan dan kerentanan sosial ekonomi masyarakat. Yang pada gilirannya, dikhawatirkan terjebak pada situasi dilematis ketika program tersebut dihentikan karena sikap dan harapan masyarakat sudah terbentuk dengan paradigma bantuan sosial.
Pada sisi lain akseptasi masyarakat khususnya penduduk miskin terhadap kontinuitas program bantuan sosial sangat tinggi, sementara kemampuan pemerintah pun terbatas. Belum lagi persoalan konsistensi dan validitas data yang digunakan semakin menambah kisruh seputar program bantuan sosial ini. Pendekatan penanganan kemiskinan melalui bantuan sosial sebagaimana yang sedang dilakukan pemerintah saat ini apakah bisa dianggap sebagai tolok ukur pencapaian penurunan penduduk miskin di Babel..!?
Dinamika program bantuan sosial bagi penduduk miskin sepertinya sebuah keniscayaan. Bagaimanapun Negara harus hadir, melayani dan menyediakan kebutuhan hidup dasar masyarakatnya. Negara seyogyanya mesti fokus dan terus merealisasikan komitmen dengan janji pendiri bangsa ini yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tampah darah Indonesia pada semua aspek kehidupan bangsa. Jika kita balik ke belakang, sejak proklamasi diikrarkan tentunya program-program penanganan kemiskinan dengan pendekatan bantuan sosial mestinya mampu beranjak lebih dari sekedar pemenuhan kebutuhan dasar (baca: gratis). Nampaknya, butuh sumber daya besar jika mengandalkan program bantuan sosial. Kadangkalanya muncul sedikit kekhawatiran bahwa mindset penerima bantuan sosial sepertinya merasa bangga mendapatnya bahkan berusaha mendapatnya. Memang nampaknya ironis, namun beginilah realita sosial. Masyarakat sepertinya terbius dengan pemberian bantuan sosial. Dan tidak sedikit terjadi pergesekan kepentingan dan pertentangan baik dikalangan akademisi, praktisi, legislator, LSM bahkan pada tataran pemerintah dan masyarakat itu sendiri. Bagaimanapun hiruk pikuk tentang bantuan sosial, kita tetap berprasangka baik kepada pemerintah juga penerima manfaat. Karena dengan bantuan sosial paling tidak pemerintah mampu ‘mengacuk’ (membujuk) rakyatnya untuk bersabar menerima kenyataan berbangsa dan bernegara.
Penurunan penduduk miskin karena membaiknya tingkat penghasilan atau ekonomi bisa jadi dipengaruhi terpenuhinya kebutuhan pangan dan sandang yang diterima masyarakat penduduk miskin selama masa pandemi ini melalui program-program bantuan sosial. Hal ini dimaknai bahwa pendekatan pengurangan penduduk miskin melalui program bantuan sosial bisa dikatakan cukup berhasil. Lalu, apakah pemerintah harus terus melanjutkan program tersebut karena dianggap lebih kentara hasilnya atau mencari pola dan model baru lagi.
Melalui tulisan sederhana ini, ada sedikit pandangan terhadap program bantuan sosial bila ditinjau dari perspektif pekerjaan sosial bahwa pertama, disinyalir munculnya sikap dan perilaku penduduk miskin cenderung pesimis dengan potensinya sendiri, sehingga keberfungsian sosialnya akan sulit dikembangkan ketika kemanjaannya kepada bantuan sosial pemerintah terus didapatkannya. Kedua, membangkitkan pribadi-pribadi ‘oportunis’ karena pemberian bantuan sosial mengesankan ajang atau seremonial ‘berbagi jatah’. Kadang kala yang memprihatinkan bahwa yang mampu pun merasa berhak dan ikutan bangga menjadi penerima manfaat. Ketiga, bisa jadi akan mendorong pola konsumsi penduduk miskin terhadap permakanan lebih tinggi dibandingkan memikirkan peningkatan aspek kualitas hidup masa depan (life skill). Keempat, kemungkinan terjadinya gesekan kepentingan sangat terbuka baik horizontal maupun vertikal karena muatan emosional politis sulit dihindari, akibatnya relasi sosial dan nilai sosial yang eksis di masyarakat pun ikut ternodai. Kelima, bantuan sosial pada sisi lain terkesan kontradiktif dengan konsep kemandirian. Kemandirian lebih menekankan kepada kemampuan dan kemauan individu untuk mengembangkan potensi diri sekaligus mampu mengaktualisasi diri sesuai tugas dan fungsi yang diembannya.
Berangkat dari pandangan sederhana ini, tentunya upaya-upaya mengkomunikasikan konsep bantuan sosial sebagai bagian dari program penanganan kemiskinan kepada penerima manfaatnya mesti diikuti dengan pemberdayaan penguatan aspek moralitas dan mentalitas yang diharapkan berimplikasi kepada penumbuhan rasa tanggung jawab, integritas dan komitmen kuat untuk bangkit dan beranjak dari permasalahan yang dihadapinya. Dengan harapan penerima manfaat mampu mengelola potensi dan kekuatannya sehingga mindset sebagai penerima tidak lagi menjadi kebanggaan tapi justru pemicu perubahan bagi kehidupan sosial ekonominya selaras dengan moto nenek saya ‘Tangan Diatas Lebih Mulia Daripada Tangan Dibawah’. Jadikan bantuan sosial menjadi motivasi bahwa biarlah hari ini menjadi Penerima Manfaat tapi esok hari menjadi Pemberi manfaat, semoga Bangka Belitung diberikan keberkahan dunia akhirat. Aamiin. Wassalam.(***)