Merawat ‘Bekisah/Begalor’ Sebagai Kearifan Lokal di Tanah Melayu
* Nusation Anwar (Penyuluh Sosial Madya Dinas Sosial & PMD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung)
JANGANLAH heran ketika anak-anak era milenial apabila ditanya tentang asal usul leluhur atau moyangnya hampir dipastikan tidak mampu mengurai silsilah keluarganya dengan baik bahkan terlewatkan. Paling hafal memorinya sampai kakek nenek paman bibi. Apalagi mengenal dan memahami seluk beluk kehidupannya secara runut. Kebanggaan kepada leluhur keluarga dari hari ke hari semakin terkikis digilas teknologi dan informasi. Silsilah menjadi urusan masa lalu bukan lagi sesuatu yang mesti dipertahankan, tidak dianggap urgen dan sakral bagi mereka. Anak-anak cenderung tidak tertarik dan kurang berkesan manakala disodorkan kisah-kisah pengorbanan, perjuangan, keprihatinan, kesederhanaan, kerja keras, kesabaran, ketekunan dan keikhlasan seperti yang sudah diperankan oleh orang tua dan leluhurnya. Justru mereka sangat menikmati kesendirian berselancar dengan gadgetnya dan merasa asing dan sepi ditengah keramaian dan sebaliknya merasa nyaman dan ceria dalam keterasingan dan kesepian, hidupnya penuh dengan paradoksal. Mereka lebih bangga dan merasakan ‘hidup lebih hidup’ dalam komunitasnya sendiri. Apakah kenyataan ini harus kita terima apa adanya..!?
SERING kali kita mendengar celoteh orang-orang dekat kita atau anak kita berujar ‘la jaman e, nek cemane agik’, ‘itu jaman ikak luk, kini dak musim agik’ masih banyak celoteh-celoteh sinis terlontar ketika orang tua memberikan contoh kisah kehidupannya kepada anak-anaknya. Selintas sepertinya kita putus asa dan frustasi menghadapinya. Memang saat ini kita sedang berada dalam kehidupan modern dan global, namun haruskah kita meninggalkan generasi tanpa sanad tak mengenal riwayatnya sedangkan mereka adalah pewaris nama baik dan keturunan kita yang akan terus hidup tanpa ada lagi kebanggaan terhadap keluarganya. Relakah kita suatu ketika kakak beradik melupakan jasa dan kisah orang tuanya sendiri bahkan mirisnya tidak sedikit terjadi percekcokan antar saudara persoalan sengketa warisan orang tua dan leluhurnya karena lemahnya rasa cinta sesama keluarga dan kerabatnya.
PERILAKU materialistis dan instan lebih dominan mempengaruhi karakter anak akhir zaman ini. Ini adalah bagian dari potret suram akibat kurang peduli dan kurang menghargai serta menjaga nama baik leluhur. Sungguh, kita pasti tidak mengharapkan terjadi pada mereka di kemudian hari kelak. Jika ini dibiarkan, bisa jadi saudara jadi lawan, musuh jadi kawan. Kalau begitu kita tinggal menunggu giliran episode yang menyeramkan dan mencekam dikala kita sudah tiada nanti.
TERINGAT, waktu masa kecil di desa pada era 80-an, bagaimana orang tua kita mendidik mengajarkan dan mengenalkan saudara-saudaranya kepada anak-anaknya yang biasanya dilakukan dengan berkunjung sembari ‘bekisah atau begalor’ (bahasa Belitung) begitu semangat agar anak-anaknya lebih dekat dan mencintai silsilah keluarga dan kerabatnya dengan baik. Banyak pelajaran bisa dipetik disitu, kita diajarkan bersikap santun, menghormati dan setia mendengar kisahnya sampai selesai, kita dididik untuk saling berbagi dan suka memberi (selalu membawa bingkisan) istilah lainnya ‘pergi memberi, pulang menerima’. Begitu juga terhadap tamu atau orang lain selalu disodorkan pertanyaan pembuka tentang asal usulnya, supaya diketahui silsilahnya, orang tua dulu tidak segan-segan mengakui hubungan saudara atau kerabat dekat meskipun senasab keilmuanya atau gurunya atau sekedar hubungan teman lamanya. Begitulah sikap dan perilaku mulia leluhur kita dahulu.
ORANG TUA dulu memorinya tajam, terasah dan selalu bangga menceritakan alur kehidupan keluarga dan kerabatnya. Sikap mental mereka terlatih dan terbiasa merasa bangga dan bahagia memiliki saudara walaupun hanya sebatas kenal nama silsilahnya. Kecerdasan orang tua kita menjaga silsilah tidak ada lain kecuali selalu bekisah atau begalor dimana pun, kapan saja dan dengan siapa juga saat berkenalan dengan seseorang di kenal ataupun tidak dikenal. Ini menunjukan tingginya apresiasi dan kepercayaan sekaligus kejujuran bersikap yang seharusnya menjadi pegangan generasi saat ini.
Bekisah Begalor dikalangan orang melayu Bangka Belitung memiliki makna tersendiri. Ini merupakan salah satu cara cerdas orang tua kita dalam menjaga silsilah keluarga atau kerabat, yakni dengan bekisah atau begalor. Banyak kecerdasan moyang kita yang sudah kita abaikan seperti ziarah kubur keluarga sambil berkisah kepada anak cucunya, silaturahim keluarga dan kerabat pada saat hari-hari keagamaan atau pesta, takziyah, jenguk saudara atau orang sakit, prihatinnya aktifitas keseharian itu jauh dari minat anak dan remaja kita. Padahal momen seperti itu tidak terpisah dari bekisah begalor.
PADA level pendidikan formal, perlu juga dikembangkan muatan lokal seperti penugasan siswa membuat pohon silsilah keluarga (generasi), kliping keluarga, cerita sukses atau perjuangan keluarga, menulis wisata keluarga dan berbagai bentuk pengayaan guna mengasah kecintaan dan kebanggaan terhadap keluarganya. Dimasa pembelajaran masa pandemi seperti ini, nampaknya akan lebih bermakna karena durasi atau waktu kumpul keluarga lebih dominan. Anak-anak harus disibukan dengan tugas-tugas moralitas dan mentalitas yang lepas dari rujukan ‘mba google’, yang pada giliranya diharapkan membentuk karakter dan falsafah hidup yang berakar dari nilai-nilai budaya dan agama.
MELALUI tulisan kecil ini, tentunya dengan bekisah/begalor ada beberapa poin penting yang menjadi catatan kritis di antaranya adalah kebiasaan bekisah mencerminkan rasa sayang dan cinta kepada sejarah keluarga dan kerabat, mengalihkan sebagian hegemoni superhero yang menjadi tontonan wajib anak-anak era milenial, melatih daya ingat dan memorial anak-anak dalam menangkap simbol dan nilai kehidupan, bentuk komitmen, kejujuran dan tanggung jawab kita terhadap pewaris keluarga dalam menjaga marwah silsilahnya, kemampun berimajinasi anak-anak akan terasah dengan konsep-konsep filosopi kehidupan masa lalu dan masa kini, bekisah/begalor bisa memangkas imajinasi anak-anak yang cenderung berimajinasi dengan tokoh-tokoh kartun, menumbuhkan rasa soliditas dan solidaritas baik keluarga, sanak saudara, kerabat, dan sahabat, merawat kerukunan dan kebanggaan sebagai pewaris keturunan dalam keluarga, bekisah atau begalor bisa menjadi tameng menangkal munculnya konflik horizontal, memelihara dan melanjutkan hubungan baik dan silaturahim yang dibangun oleh leluhur kita, mengajarkan sifat rendah hati, bijak, hormat, setia, jujur, tanggung jawab, menghargai dan banyak nilai-nilai positif kehidupan yang diperoleh dari bekisah atau begalor. Tentunya semakin mengenal dan memahami makna tersirat dari sebuah kisah atau risalah hidup maka kekayaan jiwa anak-anak tentang arti kehidupan sesungguhnya akan semakin kokoh.
DIPENGHUJUNG tulisan sederhana ini, mari kita galakan dan kembangkan konsep bekisah atau begalor karena ini bagian dari kearifan lokal dan ketahanan sosial tanah melayu yang layak dijaga dirawat dan diperhatikan tidak hanya oleh keluarga, kerabat dan lingkungan pendidikan formal sampai lembaga adat yang ada di Bumi Serumpun Sebalai karena bekisah begalor adalah milik dan budaya kita. ‘Hidup Damai Berawal dari Rasa Memiliki’.