GEGAP gempita dunia ‘mengemis’ memang sangat menarik untuk dicermati. Kemasan dan modusnya pun sangat adaptif dengan perkembangan informasi dan teknologi. Aktifitas dan lokus sasaran semakin melebar tidak hanya ditengah perkotaan atau pusat keramaian saja. Tetapi mulai bergeser dan meluas ke area pemukiman penduduk hingga kawasan pedesaan. Bahkan melalui sarana media sosial pun semakin variatif menyajikan program-program kemanusiaan. Tidak sedikit propaganda program kemanusiaan yang berlabel agama. Ironisnya, persuasi program-program ini sudah ada yang bernuansa bisnis karena sudah berbayar atau bersponsor.
KENYATAAN ini, tentunya seiring dengan kebutuhan perkembangan teknologi dan informasi agar penjangkauan sasarannya lebih masif. Program-program dikemas begitu apik dan menarik hati apalagi diawali dengan pendekatan religi. Memang belum ada pernyataan normatif dari instansi teknis atau kementerian/kelembagaan negara yang mengatakan aktifitas seperti ini masuk ke dalam kategori kegiatan ‘mengemis atau meminta-minta’ yang dilarang pemerintah. Namun, polarisasi aktifitas mengemis atau meminta-minta berkembang begitu pesat dan cepat sehingga sangat sulit diidentifikasi sebagai kegiatan mengemis, terlebih diorganisir melalui lembaga-lembaga sosial resmi atau berbadan hukum.
ISTILAH mengemis mulai dipopulerkan oleh Departemen/Kementerian Sosial sejak republik ini berdiri hingga saat ini. Dibalik realitas dan aktifitas sosial saat ini tidaklah mudah mencari padanan kata yang cocok untuk mengatakan apakah aktifitas ini tergolong perbuatan mengemis atau meminta-minta. Sejalan dengan itu bahwa konsep memberi dan menerima karena memuat konsep dogmatis yang justru menjadi bagian perbuatan mulia bagi yang memberi. Jadi, ada konsep paradoksal pada area keyakinan pada satu sisi dan pada sisi lain berhadapan dengan kebijakan.
PERGERAKAN aktifitas sosial (dunia maya) dengan mengumpulkan sumbangan atau bantuan dari khalayak terlepas dari motivasi perorangan, kelompok atau juga kepentingan sosial kemanusiaan secara proporsional mestinya ditinjau dari banyak aspek agar keteraturan dan kepastian asas keadilan dan kepatutan bersama tidak dipermainkan secara vulgar oleh orang-orang oportunis. Potensi dana sosial yang sangat besar ini sudah sewajarnya dikendalikan dan dilindungi oleh negara. Negara harus menjadi penjamin dan pelindung bagi kepentingan orang banyak dengan mengembalikan kenyaman dan keamanan bagi semua.
UNTUK memahamkan konsep dan pengertian resmi tentang aktifitas mengemis, penulis mencoba meminjam pandangan beberapa sumber dan ahli. Diantaranya Peraturan Menteri Sosial Nomor 8 Tahun 2012 memberikan pengertian, bahwa pengemis adalah orang yang meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharap belas kasihan orang lain. Sejalan dengan pengertian diatas menurut Cornelius (2017) bahwa pengemis adalah perilaku yang dijalankan oleh seseorang untuk mendapatkan penghasilan dengan cara meminta-minta di muka umum dengan memanfaatkan kondisinya agar mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Dalam Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2007 juga menjelaskan tentang makna pengemis adalah seseorang yang mencari penghasilan dengan meminta-minta di tempat umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mendapatkan belas kasihan dari pihak/orang lain dalam bentuk materi.
MEMAHAMI konteks pengertian normatif di atas jika dihubungkan dengan realita saat ini, tentunya agak kontradiktif karena metode, strategi, objek sasaran dan tempat sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan polarisasi cara mengemis atau meminta-minta melalui dunia maya. Sementara yang kita pahami selama ini bentuk langsung aktifitas fisik seseorang untuk mendapatkan penghasilan dengan cara meminta-minta yang dikatakan sebagai aktifitas mengemis. Selain itu, aktifitas mengemis bukan saja dilakukan perorangan, tapi justru telah dipolitisasi dengan organisasi atau kelompok tertentu. Kenyataan berikutnya, makna tempat umum nampaknya mesti diartikulasi lebih moderat, karena konotasinya bersifat fisik, sedangkan saat ini lokus ruang dan waktu hampir saja tidak berbatas, sehingga potensi pangsa pasar jauh lebih dahsyat. Terjadi modernisasi konsep mengemis di era kekinian karena aktifitasnya terkontrol, terencana, terprogram dan tidak hanya dilakukan oleh Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dengan pola konvensional, melainkan dimainkan oleh aktor-aktor intelektual. Dengan skema menjual berbagai program amal atau peduli kemanusiaan ternyata lebih diterima dan resmi karena dilakukan oleh sebuah lembaga sosial apalagi berbadan hukum. Pertanyaannya sekarang adalah apakah dunia maya bagian dari fasilitas atau tempat umum yang bisa digunakan oleh siapa saja, atau apakah tidak masuk bagian dari mengemis jika dilakukan bukan di tempat umum. Pemahaman ini bukan untuk diperdebatkan secara liar hanya saja kegelisahan mengamati aktifitas sosial yang semakin masif di dunia internetan. Namun juga, tidak salahnya regulator di negeri ini memandang kondisi seperti sebagai ranah kebijakannya agar harmonisasi kehidupan sosial lebih nyaman.
AKTIFITAS sosial yang mengusung agenda kemanusiaan saat ini tumbuh dan berkembang tidak hanya secara konvensional justru bergerak dengan cara normatif dan kontemporer yang dikelola oleh tenaga profesional. Terlepas aktifitas itu dilakukan dengan motivasi kemanusiaan, agama atau solidaritas semata dan lain sebagainya, yang perlu dilihat sejauhmana aktifitas sosial seperti ini memiliki dampak sosial terhadap kesejahteraan sosial. Kita tidak juga harus terjebak kepada slogan atau pemahaman tekstual tentang mengemis, namun juga dilihat kontekstualnya, lebih dari itu yang patut kita kedepankan bahwa permasalahan sosial apapun bentuknya selama berhadapan dengan upaya kesejahteraan sosial individu, keluarga, kelompok/komunitas dan masyarakat maka pemerintah wajib hadir agar pemenuhan dan perlindungan sosial hak-hak sosial berlaku bagi segenap warga negara.
MENGEMIS dalam konteks kekinian mengalami perluasan makna dan selayaknya direspon sebagai fenomena sosial yang memungkinkan pemerintah mengambil peran lebih agar tidak terjadi anomali sosial. Mengemis sosial bisa dimaknai sebagai upaya sengaja yang dilakukan baik langsung, maupun tidak langsung oleh seseorang atau kelompok tertentu untuk mendapatkan bantuan dari khalayak. Meminta-minta ternyata bukan hanya prerogatif orang miskin, bisa jadi orang miskin menjadi objek eksploitatif orang cerdas yang memainkan peran untuk memperoleh keuntungan sosial. Tidak hanya itu, tren-tren aktifitas sosial dengan mengandalkan belas kasih lewat media sosial sudah menjadi cara efektif, mudah dan cepat bahkan fenomenal. Penghimpunan dana sosial sekalipun begitu dahsyat hasilnya. Daya tarik media sosial secara sadar telah merubah hampir setiap sendi kehidupan dan penghidupan kita. Upaya ini bisa jadi dianggap metode penghimpunan dana yang terbarukan, terpercaya dan tercepat sebagai solusi darurat. Mengemis sosial dengan kemasan peduli sesama atau istilah sejenis lainnya memang tidak serta merta diartikan negatif. Hanya saja pelebaran makna dari istilah sumbangan sosial sebenarnya tidak jauh bedanya dengan mengemis secara sosial.
NAH, ketika mengemis sosial ini dijadikan kebiasaan dan pekerjaan dari seseorang atau kelompok tertentu maka dikhawatirkan yang akan terjadi distorsi makna terhadap istilah PMKS atau Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS). Oleh karena itu, di era yang tanpa batas ruang dan waktu ini konsep-konsep sosial yang muncul nampaknya perlu ditinjau ulang agar seluruh aktifitas sosial yang berhubungan dengan pemenuhan dan perlindungan hak-hak sosial masyarakat sedini mungkin tidak diekplorasi dan dieksploitasi oleh orang-orang mumpungan hanya karena asumsi pemaknaan istilah yang kedaluwarsa. “Kata orang bijak, hiduplah dengan apa adanya, daripada hidup ada apanya,” wassalam.
Penulis : Nusation Anwar, Penyuluh Sosial Ahli Madya di Dinas Sosial & PMD Provinsi Bangka Belitung
