Menbud Fadli Zon : Penulisan Sejarah Harus Berdasarkan Fakta Bukan Asumsi
MENTERI Kebudayaan Fadli Zon menegaskan pentingnya kehati-hatian dan ketelitian dalam menulis sejarah, khususnya terkait peristiwa besar seperti kerusuhan 13–14 Mei 1998. Dalam pernyataan resminya di Jakarta, Selasa (17/6/2025), Fadli merespons perdebatan panjang seputar isu “perkosaan massal” yang dikaitkan dengan tragedi tersebut.
Fadli menyampaikan bahwa penulisan sejarah harus berlandaskan pada fakta yang terverifikasi, bukan pada opini atau narasi tanpa dukungan bukti hukum dan akademik yang kuat. Ia menghargai kepedulian publik terhadap sejarah reformasi, namun mengingatkan bahwa penggunaan istilah sensitif seperti “massal” harus dikaji secara cermat.
“Berbagai tindak kekerasan memang terjadi pada masa itu, termasuk kekerasan seksual. Namun, terkait istilah ‘perkosaan massal’, perlu kehati-hatian karena data faktualnya tidak pernah konklusif,” ujarnya.
BACA JUGA : KPK Temukan Indikasi Korupsi di Bangka Selatan, Lima Kali Predikat WTP dari BPK Patut Dipertanyakan
Fadli menegaskan, sikap kehati-hatian ini bukanlah bentuk pengabaian terhadap penderitaan korban. Sebaliknya, ia secara tegas mengecam segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, baik yang terjadi di masa lalu maupun yang masih berlangsung hingga kini.
“Segala bentuk perundungan dan kekerasan seksual adalah pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan paling dasar. Namun kita tidak bisa membangun narasi sejarah di atas asumsi, apalagi yang menyangkut kehormatan bangsa,” tegasnya.
BACA JUGA : Puan Maharani Minta Penulisan Ulang Sejarah Indonesia Dilakukan Hati-Hati dan Transparan
Menurutnya, laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pascakerusuhan pun tidak memuat data lengkap dan spesifik terkait korban, lokasi, maupun pelaku dari peristiwa yang disebut sebagai “perkosaan massal”.
Peran Perempuan Diperkuat dalam Penulisan Sejarah
Menanggapi kritik bahwa narasi perempuan dihapus dari penulisan sejarah, Fadli membantah keras tuduhan tersebut. Ia menyatakan bahwa dalam struktur narasi terbaru buku Sejarah Indonesia yang tengah disusun oleh Kementerian Kebudayaan, peran perempuan justru diperkuat.
Beberapa isu strategis yang telah dimasukkan antara lain:
Sejarah organisasi perempuan di era Kebangkitan Nasional
Peran perempuan dalam diplomasi dan perjuangan militer
Upaya penghapusan kekerasan dalam rumah tangga
Pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender dalam kerangka SDGs
“Sejarah perempuan bukan dihapus, tapi justru dikuatkan. Sebab sejarah bangsa ini tidak bisa dipisahkan dari kontribusi luar biasa para perempuan,” jelasnya.
Ajak Publik Terlibat Bangun Narasi Sejarah Berimbang
Fadli juga menekankan pentingnya keterlibatan publik dalam membangun narasi sejarah yang berimbang dan akuntabel. Ia mengajak komunitas akademisi, masyarakat sipil, khususnya kelompok perempuan, untuk berdialog langsung melalui forum publik yang akan segera digelar.
“Sejarah bukan milik penguasa, bukan milik satu kelompok. Sejarah adalah milik bersama. Karena itu, harus ditulis dengan tanggung jawab dan empati,” ujar mantan anggota DPR RI ini.
Kementerian Kebudayaan, lanjutnya, akan membuka diskusi publik terbuka sebagai bagian dari proses finalisasi penulisan buku Sejarah Nasional terbaru. Forum ini diharapkan menjadi ruang bagi masukan konstruktif yang merefleksikan pluralitas pengalaman dan narasi masyarakat Indonesia.
Fadli Zon menutup pernyataannya dengan pesan reflektif:
“Sejarah bukan hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang tanggung jawab kita hari ini dan masa depan. Mari kita bangun narasi sejarah yang mencerdaskan, mempersatukan, dan membangun empati,” tegas Fadli.
Sumber : Indonesia.go.id