ASAL usul nama Toboali terdapat berbagai versi. Pastinya setiap versi memiliki makna dan cerita yang berbeda pula di dalamnya. Semoga makna dan ceritanya tidak mengaburkan sejarah untuk anak cucu atau generasi selanjutnya.
Pastinya pada Rabu, 25 Oktober 2023, Pemerintah Kabupaten Bangka Selatan (Pemkab Basel) bersama DPRD setempat menggelar Rapat Paripurna peringatan Hari Jadi atau Hari Ulang Tahunnya (HUT) ke 315 Kota Toboali. Itu berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2023 (25 Oktober 1708-25 Oktober 2023).
Diketahui sebelumnya, bahwa asal usul penggunaan kata Toboali pada masa pemerintahan Susuhunan Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago untuk pertama kali muncul istilah Toboali sebagai nama teknologi penambangan timah pribumi, maupun sebagai parit penambangan timah yang juga berfungsi sebagai benteng pertahanan pemukiman.
Susuhunan Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago melanjutkan kebijakan politik dan ekonomi kesultanan Palembang Darussalam yang telah dicetuskan oleh ayahnya Susuhunan Sultan Abdurrahman yaitu membangun benteng-benteng atau kubu pertahanan yang berfungsi untuk pertanian, perkebunan dan pertambangan.
Menurut penjelasan salah satu aktivis muda Toboali, Erwandi kepada babelhebat.com menjelaskan, asal usul atau sejarah nama Toboali sempat diriwayatkan sesepuh Toboali atau keturunan keramat Toboali, Ma’oen Said.
Karenanya itu, aktivis muda tersebut mengkritisi dalam menetapkan sejarah atas asal usul nama Toboali atau Hari Jadi Kota Toboali tidak melibatkan para sesepuh atau keturunan yang berkaitan dengan ahli waris keramat Toboali.
“Sejarah memang perlu, tapi harus dibuktikan secara bukti otentik, letak geografis dan peristiwa sehingga baru bisa menyimpulkan nama atau asal usul nama Toboali,” kata Erwandi.
Sejarah yang diriwayatkan Ma’oen Said, bahwa di kawasan hutan keramat Toboali pada masa lalu banyak lanon atau perampok dan bajak laut dari kerajaan Goa. Itu diperkirakan sekitar abad ke 15 dan abad ke 17 mereka datang ke Selat Bager atau yang lebih dikenal dengan sebutan Baher.
“Selat Bager merupakan tempat atau pelabuhan khusus perdagangan, dan juga tempat pemukiman penduduk yang dikenali dengan nama daerah Tagak. Lanon atau yang disebut bajak laut itu datang merampas harta milik penduduk di daerah Gambong (Tagak_red) yang saat ini berdekatan dengan keramat Toboali,” jelas Wiwid, sapaan akrabnya.
Selain merampas harta milik penduduk di daerah Gambong, lanjut Wiwid, para lanon juga membuat onar atau keributan, hingga akhirnya terdengar oleh kerajaan Mahmud Badaruddin I. Lalu kerajaan pada masa itu memerintahkan seorang pendekar yang diketahui bernama Raden Ali. Ini tujuannya untuk membantu daerah dan penduduk yang sering dibuat kacau oleh aksi lanon.
“Pertempuran sengit antara Raden Ali dengan para lanon akhirnya terjadi. Kekuatan para lanon yang dipimpin oleh juru tuduk asal kerajaan Goa memiliki ilmu kebal dan sangat sakti. Lalu Raden Ali minta bantuan kepada seorang mualaf keturunan cina, Liu Siau Hie yang berprofesi sebagai tukang jahit dan juga pendekar,” ujarnya.
Liu Siau Hie dengan lantang menjawab permintaan Raden Ali, hampang (Gampang_red). Lalu kedua pendekar (Raden Ali dan Liu Siau Hie) mengatur siasat agar para lanon masuk ke dalam suatu bangunan besar dekat pemukiman penduduk kala itu yang berada di kawasan keramat.
Setelah mengatur siasat, Liu Siau Hie meminta Raden Ali untuk segera menutup pintu gerbang bangunan besar itu dari luar saat bersamaan para lanon masuk ke dalam bangunan yang gelap gulita.
Kelompok lanon tampak resah saat berada di dalam bangunan. Lalu dengan gerakan cepat Liu Siau Hie langsung meloncat ke tali lampu untuk bergantung di atas lampu sambil memukul lampu besi cabang 6 seberat kurang lebih 5 kilogram.
Kelompok lanon pun akhirnya panik. Melihat kepanikan itu dimanfaatkan Liu Siau Hie dengan berteriak hatam (Hantam_red). Alhasil, seakan Liu Siau Hie memiliki pasukan yang banyak. Padahal hanya sendirinya di dalam bangunan tersebut.
Mendengar teriakan hantam itu akhirnya kelompok lanon saling hantam sesamanya. Pertumpahan darah pun terjadi sehingga tersisa hanya beberapa orang dan langsung diselesaikan Liu Siau Hie.
Juru tuduk yang diketahui memiliki ilmu kebal dan sakti tersebut selamat dari hantaman Liu Siau Hie, lantaran Raden Ali membuka pintu gerbang bangunan dan masuk ke dalam bangunan yang gelap gulita.
Sontak dari dalam bangunan terdengar seperti ada panggilan ‘siapa itu’. Lalu dijawab oleh Raden Ali ‘Tobo’ dan dipanggil lagi oleh juru tuduk ‘Siapa itu’. Lagi-lagi dijawab ‘Tobo‘ oleh Raden Ali.
Karena penasaran hingga akhirnya juru tuduk berteriak dengan lantang ‘Siapa itu’ dan dijawab ‘Ali‘. Nah, dari sinilah awal mula muncul istilah nama Toboali.
Toboali (Tobo dalam Bahasa Palembang artinya aku. Ali nama orang yang dipanggil menjadi aku Ali atau Tobo-Ali).
Dengan masih hidupnya juru tuduk membuat Raden Ali tidak tenang. Lalu Raden Ali memberikan isyarat dengan Liu Siau Hie untuk bertarung kembali antara Liu Siau Hie dengan juru tuduk.
Liu Siau Hie memukul juru tuduk dengan menggunakan besi cabang 6, hingga kedua kaki juru tuduk pun patah. Namun kondisi ini belum juga membuat Raden Ali tenang. Meski kedua kaki patah juru tuduk masih tetap bertahan dengan melihat kesaktiannya dihadapan Raden Ali dan Liu Siau Hie.
Kesaktian juru tuduk menggali tanah dengan menggunakan tangannya hingga menutupi seluruh tubuhnya. Melihat hal ini Raden Ali pun bertanya kepada Liu Siau Hie.
Hampang Li (Gampang Li). Lalu Liu Siau Hie meminta Raden Ali untuk segera menyiapkan dua batang pohon kelapa dan tali, untuk mengikat kaki kanan dan kaki kiri juru tuduk. Kemudian juru tuduk digelinding dari atas tebing hingga akhirnya badan juru tuduk terbelah.