PAGI jelang siang tadi ada satu pesan masuk ke ponselku. Lalu ku buka dan ku baca dengan mata yang masih sayup. Pesan itu dari sahabatku.
Sahabatku yang memang agak kritis setiap melihat keadaan di sekitarnya.
Pesan itu ku baca pelan-pelan dengan mata yang masih sayup. Maklum baru bangun dari tidur.
Begini isi pesannya sahabatku itu, dengan memanggil namaku bro.
Bro, sekarang di kampungku banyak baliho, kampungku kampung baliho dengan beraneka ragam warna dan rupa hingga gaya.
Misteri di kampungku, kampung baliho. Warna warninya menghiasi jalan dan sudut jalan hingga menuju ke arah pusat perkantoran.
Kampungku, kampung baliho. Wajah lama dan wajah baru menjamur di sebagian ruas jalan kampungku.
Kampungku kampung baliho, senyuman para wajah di baliho tampak ada yang memberi senyum lebar dan senyum tipis-tipis. Begitulah adanya dan faktanya, misteri jalan di kampungku, kampung baliho.
“Kampungku, kampung baliho, sebagian jalan di kampungku penuh dengan baliho,” jelasnya bahwa jalan di kampungnya penuh dengan baliho.
Poinnya sahabatku pun bertanya. Bro…mengapa jalan di kampungnya itu penuh dengan baliho? Anehnya, sebagian dari wajah di baliho itu ada yang dikenalinya dan ada pula yang tak dikenalinya.
“Siapa mereka. Ku nggak kenal sama mereka. Kenal sama mereka pun belum tentu mereka kenal sama ku. Bagaimana mereka mau sayang. Kenal juga nggak sama ku. Bukannya tak kenal maka tak sayang, bagaimana mau cinta dan bagaimana, bagaimanalah,” ujarnya.
Lalu sahabatku itu menjelaskan, baliho yang menjamur di jalan kampungnya itu terdapat kata-kata ajakan serta permintaan untuk memilih, seperti misalnya jangan lupa pilih dan milih.
“Pilih dan milih apa itu maksudnya. Mengapa harus memilih dan mengapa minta dipilih. Aneh, nggak kenal dan tidak dikenal minta dipilih, sangat aneh. Kalau hanya berucap dan berslogan dengan kata ini dan kata itu nggak cukup, apalagi hanya dengan kata-kata. Karena, kata-kata ini dan itu manis di awal, pahitnya itu di ujung,” katanya dengan panjang kali lebar isi pesannya.
Akhir kata sahabatku pun mengajak nongkrong ke warung kopi. Ngopi, katanya, biar merasa dan berasa antara panas dan dinginnya kopi, antara manis dan pahitnya kopi. Manis di awal, kecut dan pahitnya itu di seruputan paling akhir.
“Yo ngopi sambil ngulas baliho-baliho tadi. Siapa mereka-mereka di baliho itu. Warkop sini saja, sepi. Mumpung sepi. Oke ditunggu,” tuturnya berharap kedatanganku.
Salam baliho