PUSAT Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkap ada dugaan sumber dana kampanye Pemilu 2024 dari hasil tindak pidana, salah satunya pertambangan illegal. Nilai transaksi yang mencapai triliunan dari tambang illegal itu diduga mengalir ke partai politik dan kontestan Pemilu 2024.
Dugaan dana tambang illegal mengalir untuk biaya kampanye Pemilu 2024 itu, sesungguhnya fenomena lama yang cenderung dibiarkan. Keberadaan tambang illegal justru terorganisasi, dilindungi, bahkan tampak menjadi bancakan elit politik, aparat penegak hukum, dan ormas tertentu.
Indikasi pembiaran dan perlindungan tambang illegal itu salah satunya ditandai dengan maraknya operasi pertambangan illegal di berbagai wilayah di Indonesia. Merujuk data Kementerian ESDM, terdapat sekitar 2.700 tambang illegal di Indonesia. Dari jumlah tersebut, 2.600 lokasi merupakan pertambangan mineral dan 96 lokasi adalah pertambangan batubara.
Ribuan tambang illegal tersebut tersebar di 28 provinsi, sebagian di antaranya adalah Jawa Timur sebanyak 649 titik, Sumatera Selatan 562 titik, Jawa Barat 300 titik, Jambi 178 titik, Nusa Tenggara Timur 159 titik, Banten 148 titik, Kalimantan Barat 84 titik, Sulawesi Tengah 12 titik, dan Kalimantan Timur sebanyak 168 titik.
Maraknya operasi tambang illegal, hingga dugaan mengalir ke partai politik dan kontestan Pemilu 2024 sesungguhnya disebabkan oleh absennya penegakan hukum. Penegakan hukum yang berjalan di tempat itu dipicu oleh tindakan aparat penegak hukum yang justru menjadi salah satu pemain penting di balik tambang illegal.
Sejumlah contoh nyata ihwal keterlibatan aparat keamanan itu, tercermin dari kasus yang menjerat Briptu Hasbudi di Sekatak Buji, Bulungan, Kaltara yang terlibat bisnis tambang emas ilegal, atau anggota polisi yang diduga terlibat menambang timah illegal di Perairan Teluk Kelabat, Belinyu, Bangka, serta kasus anggota polisi yang diduga bermain tambang illegal di Sungai Walanae, Kebo, Lilirilau, Soppeng, Sulsel.
Teranyar, keterlibatan langsung aparat kepolisian dalam tambang illegal muncul dalam kasus Ismail Bolong, mantan anggota Satintelkam Polresta Samarinda yang terlibat penambangan illegal di lahan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) milik PT Santan Batubara.
Selain keterlibatan langsung dan tidak langsung aparat penegak hukum, para pemain tambang illegal ini juga merupakan politisi partai politik yang dekat dengan kekuasaan. Salah satu contoh nyata atas ini, adalah terkait operasi PT Mahesa di Desa Morombo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara yang tidak mengantongi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).
Perusahaan tambang nikel ini dimiliki oleh Siti Nur Azizah, anak Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Nama lain yang muncul sebagai pemilik adalah Romi Rere dan anak-anak dari Ventje Rumangkang. Ventje Rumangkang adalah pengusaha sekaligus pendiri Partai Demokrat. Salah satu anaknya, Fera Febyanthy, kini duduk di DPR mewakili Demokrat dari Daerah Pemilihan Jawa Barat VII.
Pemilik lain dari PT Mahesa ini, adalah Libriani Dwi Arsanti, istri Wakil Kepala Inteleijen Kepolisian RI Inspektur Jenderal Merdisyam.
Tak Cukup Lapor ke KPU dan Bawaslu
Langkah PPATK yang mengungkap aliran dana dari tambang illegal dalam Pemilu 2024, lalu kemudian dilaporkan kepada KPU dan Bawaslu tidak berdampak signifikan pada terputusnya aliran dana illegal dalam Pemilu 2024.
Hal ini diperparah dengan permasalahan dana kampanye dalam setiap pesta elektoral yang serba tertutup. Pada Pemilu Serentak 2019, misalnya, KPU mengeluh pelaporan dana kampanye sebagai formalitas belaka. Partai politik enggan melaporkan secara rinci terkait sumber, penggunaan dan pertanggungjawaban dana kampanye, terutama yang berasal dari perorangan maupun kelompok, perusahaan, dan/atau badan usaha non-pemeritnah.
Meski transparansi dana kampanye menjadi penting, namun hal itu tidak akan menghentikan maraknya operasi tambang illegal di Indonesia. Apalagi, dalam sejarah Pemilu Indonesia, sumber dana kampanye yang illegal belum sampai pada membatalkan partisipasi pemilu, partai, atau orang.
Maka, polemik aliran dana tambang illegal dalam Pemilu 2024 mesti mesti ditindak-lanjuti dengan membuka sumber aliran dana, model dan pola transaksi, waktu, serta penerima manfaat dari aliran dana illegal tersebut. Di saat yang sama, dibutuhkan langkah penegakan hukum yang tegas, salah satunya mulai dari institusi penegak hukum seperti Polri itu sendiri. (*)
Link sumber : jatam