Oleh : apt. Aria Putri, S.Farm & Nusation
Fungsional Apoteker Muda & Penyuluh Sosial Madya
KETIKA kita mencermati Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Penanganan Fakir Miskin, dalam ketentuan umum disebutkan bahwa kebutuhan dasar adalah kebutuhan pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan/atau pelayanan sosial. Dari pengertian tersebut terdapat salah satu kebutuhan dasar, yakni kesehatan. Setiap warga negara berhak memperoleh akses pelayanan kesehatan. Fakir miskin atau orang miskin merupakan bagian dari warga negara yang masuk ke dalam kategori Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS). Pelayanan kesehatan yang disediakan oleh negara melalui skema Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan Nasional (PBI-JKN) adalah bentuk riil kehadiran pemerintah dan pemerintah daerah untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan kesehataan bagi fakir miskin atau orang miskin yang diberikan secara gratis. Sehingga ada jaminan berobat cuma-cuma yang disediakan oleh pemerintah melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan atau Kartu Indonesia Sehat (KIS).
DALAM upaya penyediaan kebutuhan dasar kesehatan sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, pada Pasal 171 dinyatakan bahwa pemerintah bahkan diberikan alokasi anggaran kesehatan yang cukup memadai sebesar minimal 5 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diluar gaji. Begitu juga pemerintah daerah minimal 10 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) diluar gaji. Ini menunjukan tingginya perhatian dan komitmen pemerintah dalam rangka mewujudkan Indonesi Sehat. Harapan idealnya Indonesia Sehat dan Sejahtera. Dengan berbagai pola, kebijakan dan strategi yang dirumuskan kedalam program-program teknis yang ada di Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) tentunya, diharapkan mampu menjangkau pelayanannya hingga keseluruh pelosok tanah air.
DENGAN program Gerakan Masyarakat (Germas) yang sangat popular di kalangan pelaku dan penggerak kesehatan, ada satu konsep yang menarik untuk kami angkat di tulisan sederhana ini, yakni tentang konsep ‘DAGUSIBU’ yang sudah lama tidak begitu terdengar lagi. Meskipun masih sering dilihat di beberapa apotek dan fasilitas kesehatan lainnya. Menurut hemat kami, konsep Dagusibu jika disandingkan dengan konsep penanganan kemiskinan yang ada, khususnya dalam upaya-upaya mengurangi beban pengeluaran bagi orang miskin sangat relevan untuk terus dikembangkan. Dagusibu memberikan ruang gerak, persuasif dan dialogis yang efektif dalam mendekatkan pemahaman sederhana kepada orang miskin. Apalagi konsep ini sangat familiar dan mudah dipahami oleh semua kalangan, merakyat bahasa kerennya..!
KITA tahu bahwa melalui agen-agen perubahan (Agent of Change) terutama apoteker dan tenaga teknis kefarmasian yang tersebar hampir di setiap fasilitas kesehatan dan apotek atau toko obat dapat lebih maksimal untuk mengajak, mengedukasi, memotivasi dan menginformasikan kepada segenap komponen masyarakat termasuk pilar-pilar sosial yang ada di desa seperti Pekerja Sosial Masyarakat (PSM), Karang Taruna (Kartaru), TKSK, Pelopor Perdamaian, Tagana dan Lembaga Kesejahteraan Sosial lainnya agar bisa berpartisipasi dalam memahamkan Dagusibu perihal kefarmasian, khususnya obat-obatan kepada penerima manfaat program (baca: orang miskin).
DAGUSIBU bisa jadi pilihan strategi penting, dalam rangka mencerdaskan masyarakat terkhusus bagi orang miskin. Sehingga beban pengeluaran untuk berobat dan membeli obat dapat ditekan yang pada gilirannya hidup bisa lebih berkualitas, sehat dan sejahtera tanpa melulu mengonsumsi obat. Melalui tulisan kecil ini, kami ingin berbagi informasi terkait Da-Gu-Si-Bu. Da berarti dapatkan. Mungkin banyak diantara kita apalagi orang miskin sering kali belum mengerti tentang cara dan dimana, serta kapan harus mendapatkan atau membeli obat. Obat-obatan tidak bisa dijual sembarangan karena sudah diatur oleh pemerintah dalam hal peredaran dan penjualannya. Obat-obatan secara benar bisa diperoleh dan dibeli di apotek dan toko obat yang berizin, serta sarana pelayanan kefarmasian lainnya dimana terdapat tenaga kefarmasian yang dapat menjelaskan tentang obat. Ironisnya, karena alasan jarak dan efektifitas banyak juga toko-toko kelontong (desa) yang menjual obat-obat berlogo. Kenyataan ini memang sulit dicermati dan cenderung dilematis. Gu berarti gunakan. Mengkonsumsi obat tentunya harus paham tentang kapan waktu minum obat. Berapa lama obat ini bisa digunakan, berapa dosis serta bagaimana cara menggunakannya, dan untuk siapa digunakan. Ketika kita memahaminya dipastikan kemungkinan resiko terjadinya efek samping dan berkembangnya penyakit bisa diatasinya dengan benar dan baik, jika perlu sehat tanpa obat. Si berarti simpan. Menyimpan obat harus tepat dengan memperhatikan tempat, suhu penyimpanan dan jauh dari jangkauan anak-anak. Akibat keteledoran dalam penyimpanan, obat yang seharusnya berfungsi untuk menyembuhkan penyakit dan/atau mengurangi rasa sakit justru dapat rusak kandungannya sehingga dapat menambah memperparah penyakit. Bahkan meracuni kita akibat ketidakpahaman dan minimnya pengetahuan terhadap cara menyimpan obat. Bu berarti buang. Setiap obat ada masa pakainya alias kedaluarsanya, ada jenis obat tablet/sirup/kapsul/salep dan lain-lain yang harus diperlakukan berbeda dalam penanganannya ketika sudah habis masa pakainya atau sudah rusak agar tidak menimbulkan pencemaran (aliran air/tanah/tanaman/binatang) dan tidak pula disalahgunakan (kemasan obat mesti dirobek/dipecahkan).
PERTANYAANYA, adakah hubungan dengan upaya pengentasan kemiskian di daerah? Jawabannya, tentu ada. Orang yang cerdas adalah orang yang sehat, yang memiliki kemauan, pengetahuan dan mampu mengakses berbagai sistem sumber termasuk informasi. Salah satu kelemahan orang kurang cerdas yaitu karena kekurangan informasi. Terlebih yang terjadi kepada orang miskin. Kita dapat menyaksikan bagaimana tingkat kekhawatiran terhadap gejala penyakit, misalkan demam, pusing, flu/pilek, batuk dan gejala atau respon tubuh lainnya. Prihatinnya, sering kita saksikan selalu ambil jalan pintas dan cepat dengan langsung berobat dan membeli obat. Pada gilirannya mengakibatkan alokasi dana kebutuhan hidup lainnya terpakai untuk hal tersebut bahkan tidak sedikit yang terpaksa harus berhutang dan menjual aset. Kenapa itu terjadi? karena minimnya pengetahuan dan informasi yang mereka terima. Padahal, jika lebih cerdas tentunya tidak menambah derita fisik dan ekonomi orang miskin. Ada adagium bahwa obat adalah racun.!? Sedapat mungkin kita terbebas dari obat dan berobat. Selain bisa meningkatkan kualitas kesehatan dan mengurangi beban pengeluaran terlebih bagi orang miskin yang notabene masih kekurangan dalam memenuhi kebutuhan dasar pangan, sandang dan papan. Sudah waktunya orang miskin dicerdaskan dengan pemahaman yang benar dan baik.
PENANGANAN kemiskinan sejatinya bukan kepada berapa besar dan banyak bantuan sosial yang dikucurkan, melainkan seberapa kuat dan besarnya kemauan dan kemampuan kita membangun potensi serta merubah mindset orang miskin itu sendiri. Ketika mindset miskin tidak lagi melekat padanya maka cara pandang hidupnya pun akan mengalami perubahan. Karena yang membuat kita tambah miskin karena pikiran kita fokus kepada kemiskinan itu sendiri.
DAGUSIBU hanyalah sebuah konsep praktis dan pragmatis yang menjadi bagian kecil dari upaya mencerdaskan masyarakat yang mungkin membawa perubahan perilaku dan pola hidup orang miskin, khususnya aspek kesehatan. Meskipun begitu Dagusibu dipandang memiliki daya ungkit besar karena berhubungan dengan cara cerdas bersikap dan berperilaku termasuk nilai-nilai kehidupan lainnya. Sehingga implikasinya pada aspek lainnya pun orang miskin mampu berpikir bijak dan cerdas guna meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan pribadi dan keluarganya. Diluar sana masih seabrek konsep-konsep lintas program yang bisa diarahkan secara terintegrasi untuk penanganan kemiskinan di daerah ini. Dengan tulisan sederhana ini, mari kita selipkan pesan Dagusibu pada setiap program penanganan kemiskinan ‘Hidup Sehat Tanpa Obat, Hidup Bahagia Tanpa Berobat’. Menggapai Babel Sehat dan Mandiri, Menuju Indonesia Tangguh Indonesia Maju. Wassalam.(**)