Oleh : Nusation Penyuluh Sosial Ahli Madya Pada Dinsos dan PMD Babel

HIRUK pikuk seputar peningkatan dan penegakan disiplin pegawai, khususnya di lingkungan Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menjadi menu utama tugas harian aparatur alias obrolan pagi bahkan setiap arahan apel pagi/sore materi pokoknya seputar disiplin. Seakan-akan persoalan disiplin bagi aparatur, baru di mulai jaman ‘now’. Padahal di jaman ‘waw’ juga sudah berlaku dan menjadi kewajiban yang melekat bagi pegawai pemerintah. Apalagi bagi seorang muslim, waktu sholat adalah panduan pribadi disiplin yang mestinya dijadikan ukuran. Disadari atau tidak disadari setiap orang yang bekerja pada sebuah instansi atau lembaga baik pemerintah maupun swasta pasti akan dibalut dengan sistem disiplin sesuai kebutuhan dan norma masing-masing yang diatur dalam bentuk keputusan atau peraturan. Dalam penerapannya bisa dilakukan dengan berbagai metode dan sistim tergantung pilihan mana yang baik menurut ukuran pengambil dan pembuat kebijakan.

Baca Juga : Waspadai LGBT, Sayangi Anak-Anak Kita

Secara sederhana, disiplin dapat diartikan adanya perasaan taat dan patuh terhadap norma atau nilai-nilai yang dipercaya atau diberlakukan. Karena disiplin sebagai suatu bentuk ketaatan dan kepatuhan seseorang terhadap ketentuan yang diatur oleh organisasi. Maka suka atau tidak suka dengan sendirinya berlaku secara umum bagi anggota organisasi. Karena prinsip disiplin itu bersifat mengikat unsur didalamnya bahkan cenderung memaksa. Padahal sejatinya, disiplin itu sangat dibutuhkan oleh organisasi guna menumbuhkembangkan sikap dan perilaku pegawai dalam kerangka tata kelola organisasi yang baik. Dalam kerangka birokrasi tentunya disiplin tidak lepas dari peraturan normatif yang secara explisit mengikat seluruh organ dari sebuah organisasi. Sebagai suatu mekanisme pengendalian yang kaku, persoalan disiplin seringkali dianggap sebagian organ yang terikat–baca ASN— dengan itu dirasakan dapat mengekang, menghambat, mengancam, bahkan tidak berkeadilan.

Baca Juga : Pesta Kemerdekaan Melatih Rasa Cinta Tanah Air

Pencitraan disiplin PNS buruk atau rendah terasa kurang elok, jika hanya ditinjau dari sudut kualitas presensi atau absensi. Bagaimanapun pelayanan publik harus berlangsung bagi masyarakat meskipun harus berbentur dengan waktu dan ruang. Tapi, sayangnya ada fenomena lain dari idealisme pelayanan publik bahwa yang merusak citra PNS/ASN justru anomali sikap dan perilaku mereka sendiri.

Baca Juga : Spirit Baru Dibalik Penerima Manfaat Bansos

Kebiasan berperilaku tidak disiplin tidak juga bisa ditafsirkan linier dengan produktifitas atau output kinerja. Karena hal tersebut berkaitan erat dengan bagaimana sistem pengelolaan disiplin yang ditentukan organisasi, banyak pilihan pola dan skema implementasinya. Begitu juga sebaliknya, pegawai yang disiplin tidak berarti punya produktifitas dan kinerja baik. Mudahnya semua itu ada hubungannnya dengan motivasi, tanggung jawab, mentalitas dan komitmen dan yang paling penting keteladanan. Sekarang yang justru menjadi ruang dialog sebenarnya adalah apakah kita mau menciptakan pegawai yang disiplin waktu, apa disiplin kerja….?? jawaban gampangnya, kedua-duanya. Nampaknya sederhana, jika dicermati secara mendalam sangatlah komplek, karena yang diharapkan dari disiplin bukan hanya sekedar hal efektifitas waktu, lamanya dikantor, dan banyaknya kerja. Sebagai pelayan masyarakat, yang jelas harus mampu memastikan adanya pelayanan publik yang efektif, efesien, terbuka dan berkualitas serta diikuti tanggung jawab sepenuh hati melayani. Melayani sepenuh hati tidak dibatasi ruang dan waktu. Kapan, dimana, bagaimana dan berapa yang harus dilakukan atau disediakan bukan lagi rentetan pertanyaan, tapi justru akan menjadi kendala jika seorang pelayan publik mengacu kepada konsep normatif dan konvensional.

Baca Juga : Pemasaran Sosial dan Pekerjaan Sosial Dalam Program CSR

Pertanyaannya adalah apakah disiplin atau tidak disiplin ada kaitannya dengan rasa tanggung jawab?? Kemudian apakah selalu identik orang yang tidak disiplin dengan kinerjanya (ouput)?? Tentunya kondisi ini paradoksal bilamana disikapi secara proporsional. Kenyataan Pegawai Negeri Sipil itu “malas” dikatakan sebagian masyarakat memang tidak semuanya salah, secara kasat mata seringkali ditampilkan media massa dengan terbuka menampilkan kekonyolan ASN yang suka bolos, malas masuk kerja, sedikit kerja banyak tuntutan, santai dan hura-hura dan seterusnya. Barangkali masih seabrek stigma lainnya yang akan disematkan pada ASN. Sungguh ironis, namun tidak juga sedikit ASN yang kerja lembur tanpa uang lembur, kerja tak berbatas waktu, loyalitas tinggi, idealisme tinggi, tanggung jawab, jujur dan sisi-sisi baik lainya. Sebetulnya yang merusak citra ASN bukannya datang dari luar atau faktor eksternal melainkan akibat keteledoran atau kekonyolan pribadi ASN itu sendiri. Sistem atau peraturan yang menegaskan tentang disiplin bukan hal baru, sejak adanya pemerintah segala aturan mengatur tentang kedisiplinan sudah ada hanya saja implementasinya barangkali yang belum pas dengan karakter dan kebutuhan ASN, mungkin juga moralitas dan mentalitas ASN yang rendah salah satu penyebabnya.?! Masih perlu kajian kawan…

Menimbang Harapan dan Realita

Memang untuk menimbang kualitas kerja ASN tidaklah cukup dengan presensi (apel) atau absensi dengan mengidolakan sistem komputerisasi atau istilah kekiniannya Finger Print atau real time presensi (android). Disamping itu, untuk mengendalikan output kinerja pegawai, setiap ASN wajib membuat Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) berikut catatan harian kinerja pegawai (online system). Metode atau sistem ini hanya salah satu metode yang saat ini dianggap efektif oleh pembuat kebijakan. Melalui sistem ini paling tidak ada beberapa kelebihan atau keuntungan, yakni mengurangi beban tanggung jawab pengendalian dari atasan langsung hal waktu, disiplin ‘jempol’ aktif menunggu waktu, setia kepada ‘mesin’ atau teknologi, loyalitas pada atasan khusus hal disiplin absen, membiasakan diri mengatur waktu, yang malas ikutan rajin masuk, membiasakan pegawai dengan internet, mengajarkan pegawai tidak “Gaptek”, pegawai harus mampu beradaptasi dengan globalisasi dan IT, berlomba berinovasi, serta melatih aparatur bersikap jujur. Tidaklah berlebihan keinginan pimpinan agar pegawainya harus handal dan update menghadapi perubahan lingkungan yang begitu dahsyat. Reformasi birokrasi sebagai prasyarat menuju ke situ sudah sekian tahun ditabuh, kita kudu siap berkecamuk dalam arena kompetitif ini. Kita tidak mungkin lepas dari dunia serba digital. Siap tidak siap, harus siap. Dibalik itu, tidaklah sedikit kelemahannnya juga, diantaranya adalah membentuk sikap dan perilaku mementingkan hak dahulu baru kewajiban, mengarah kepada mindset yang penting hadir soal kerja urusan nomor sekian, munculnya sikap dan nilai individulistik, membiasakan hidup ‘berhitung’ nominal karena ada kompensasi yang menggiurkan, seringkali memunculkan sikap buruk sangka jika ada kendala, pegawai yang sibuk kerja sering lupa mikirin “jempol sendiri”, bisa memicu ketidaknyamanan dalam bekerja karena harus selalu inget si Finger Print atau real time presensi (android), melatih untuk tidak konsisten karena seringkali yang terlambat juga bisa dikonversi dengan surat tugas/surat izin, berkurangnya peran atasan, bisa juga menimbulkan hubungan interpersonal pegawai menjadi kurang kondusif (sistem pemotongan/salah input), banyak menghabiskan waktu untuk urusan CKHP/apel/sidik jari, bagi pegawai yang aktif (banyak kerja) waktu kerja berkurang karena harus sibuk dengan absensi dan membuat cacatan harian kerja, serta sedikit banyak melatih kurang jujur (CKHP). Diluar lebih kurangnya, hal itu hanya sebuah upaya pemerintah daerah guna menegakan disiplin aparatur dimana saat ini dirasakan masih lemah. Proses evaluasi juga harus berjalan sinergi dilakukan agar pola penegakan disiplin tidak kebablasan yang pada gilirannya menimbulkan ketidaknyaman dan keterpaksaan berlebih.

Aspek Keadilan….

Setiap kebijakan yang populis tentunya tidak mungkin bisa membuat semua orang merasa puas, tapi sebagai aparatur tentunya kewajiban masuk kerja pada waktunya rasanya tidak perlu lagi diperbincangkan. Sungguh ironis, manakala masih ada pegawai merasa dirugikan dengan segala keputusan pimpinan dalam menegakkan kedisiplinan aparatur, karena sudah seyogyanya aparatur mampu memahami antara kewajiban dan hak. Tendensinya yang paling kentara justru lebih menonjolkan hak dibanding mendahulukan kewajibannya, pada titik nadirnya konsep melayani yang seharusnya dikedepankan semakin bergeser ke arah konsep dilayani. Bentuk-bentuk apresiasi pemerintah dengan pendekatan kesejahteraan–nominal–, nampaknya juga bisa memicu perubahan mentalitas, sikap, nilai dan perilaku aparatur yang dikhawatirkan berakhir kepada tuntutan pemenuhan hak bukan kewajiban. Perhatian pemerintah daerah kepada aparaturnya sudah sangat baik. Dilain sisi, kewajiban absensi, apel dan catatan harian seakan-akan menjadi tanggung jawab dan tugas pokok pegawai bahkan lebih ekstrimnya barangkali agak “mengancam” dengan skema reward-punishment, dan yang menggelisahkan sebagian aparatur lebih loyal kepada hak bukannya kewajiban dengan dalih menyelamatkan nominal yang dijanjikan dan masih dianggap wajar juga, karena sistem menuntut seperti itu. Kalau sudah demikian mindset aparatur, dimanakah letaknya kewajiban ‘sejati’nya??! ….memprihatinkan. Dorongan mengejar nilai nominal, nampaknya menjadi embrio ketidakadilan, karena pegawai yang kesehariannya memang fokus pada proses, output dan kerja tentunya pikiran, waktu, tenaga, dan kapasitasnya tercurah guna menyelesaikan tanggung jawab dan fungsi. Tapi, sebaliknya, pegawai yang “kurang difungsikan atau malas” lebih diuntungkan oleh sistem dikarenakan selalu fokus untuk itu. Lalu, dimanakah keadilan berada..??? akibatnya, konsep keadilan barang kali akan tergerus oleh sikap dan perilaku hipokrit. Allahu‘alam.

Baca Juga : Dunning Kruger Effect Dalam Birokrasi Pemerintahan

Lantas, siapa dan apa yang disalahkan…?! Bukankah bagi orang-orang yang hidup tertib dipastikan perilaku dan sikap hidupnya pun akan tertib, tanpa ada aturan pun tidak begitu mempengaruhinya, karena dianggap sudah kebutuhannya. Semoga, pemahaman sempit terhadap ASN tidak lagi terputus pada separuh asa. Penegakan disiplin yang berkeadilan dan mandiri adalah kebutuhan bukan lagi simbol. Hari ini adalah realita bukan retorika. Mari berubah, bergerak, dan bekerja. Pemerintah Daerah mengayomi, Aparatur melayani, Masyarakat menikmati. semoga.

Disclaimer : Tulisan ini sebatas refleksi kegalauan bukan sebuah kajian ilmiah. Jika berguna itu yang kita harapkan, jika pun tidak anggap saja selfreminder